06 February 2018

Warung Kopi



Disini ketika senja datang. Tidak ada lagi cahaya, selain sinar rembulan. Beberapa rumah warga telah dialiri listrik. Anak-anak kecil tampak berlarian, menenteng mushaf ditangan sebelah kanannya. Anak lelaki memakai kopiah  anak peremuan memakai hijab. Anak-anak tersebut baru pulang mengaji dari mesjid. 

Jalanan mulai lengang, begitupun dengan udaranya yang menusuk ke tulang-tulang. Jafar melanjutkan langkah kakinya. Mengikuti orang tua yang menuntunnya. Bagi Jafar kehidupan di desa ini benar-benar berbeda. Di malam hari, satu-satunya hiburan hanyalah warung kopi buk Lasmi dan bapak Saso.

Warung kopi ini sangat sederhana. Berbeda dengan kompetitornya di ibukota. Menunya sangat berbeda dengan berbagai warung kopi di ibu kota seperti starbuck, excelco, kapal api dan sejenisnya. Di warung kopi ini hanya ada dua jenis yakni kopi hitam pait dan pekat. Begitupun dengan menu makanannya tidak ada burger, dan roti lainnya. Hanya ada bolu dan goreng pisang. 

Yang menjaga kopinya juga tidak ramah, tidak menanyakan dan berucap “Selamat datang dikedai kami, mau pesan apa?”. Pak Saso dan Dindin hanya mengantarkan kopi kemeja lalu pergi begitu saja. Meminum kopi sambil menonton televisi 14 inci. Rasanya memang sudah menjadi hiburan di desa ini. 

Udara memang dingin, namun tidak dengan pembicaraan bapak-bapak disini yang hangat bahkan mulai memanas. Beberapa tampak seperti berdebat kusir. Tahun ini, pemilu pilkada akan dimulai secara serentak. Mereka berdebat tentang siapa yang akan diunggulkan. Bahkan dengan terang-terangan mencari tim sukses di warung kopi dengan imbalan sanak saudaranya akan diangkat menjadi tenaga honorer atau pns di kantor pemerintahan. 

Namun, tidak dengan bapak Sandi. Ia duduk menepi mendekatiku. Memanggil bu Lasmi untuk menambah kopinya. Lalu Didin dengan sigap mengantarnya. Aku berfikir ia akan mengotori fikiranku dan membujuk agar memberikan uang sebagai dana kampanye seperti bapak lainnya. Ternyata aku salah bapak Sandy tetap diam dengan seribu bahasa dan memerhatikan dengan seksama tontonan di televisi yang merupakan sebuah acara talkshow berupa debat politik. Tampaknya acara itu lebih menarik perhatiannya. 

Setelah menghabiskan waktu selama dua jam, orang tua itu kembali membawaku pulang. Sekarang aku sadar bahwa benar, pernyataan temanku kampanye berupa propoganda yang terkenal dengan black campaing itu ada. Dan sekarang aku siap memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar memilih pemimpin yang bersih, jujur mencalonkan diri bukan atas kepentingan tetapi kepedulian yang membawa perubahan. 

Dirumah orang tua, dibawah sinar rembulan. Aku memerhatikan beberapa teman sudah tertidur dengan lelap. Kami baru beberapa hari disini, sebagai anak KKN aku sekarang sudah tau bagaimana menjalankan strategi komunikasi yang baik agar diterima warga. Yakni memulai semua pembicaraan diwarung kopi. Malam semakin larut, aku mulai mengantuk semoga esok hari teman-temanku menerima ideku membicarakan program kerja (proker KKN) di warung kopi.  

No comments:

Post a Comment