14 December 2017

Lewat tulisan kita menyatu

Assalamu’alaykum

Beberapa bulan yang lalu aku mengikuti kompetisi menulis cerpen. Meskipun belum ahlinya dalam hal menulis mencoba dan selalu mencoba adalah yang terbaik. Meskipun belum masuk dominasi favorit atau sesuai kriteria dari yang ngadain lomba  izinin aku untuk mempublikasikan pada blog ini ya teman-teman. Besar harapan ada masukan yang membangun. Berikut cerpennya “Lewat Tulisan Kita Menyatu”  : 

Lelaki itu selalu cool, lebih sering menghabiskan jam istirahat dengan buku-buku sastrawan masa lampau. Pandangannya selalu sinis. Penuh tatapan kosong dan setiap ada perempuan cantik berdiri dihadapannya selalu dihindari sebisa mungkin.  Sangat jarang tersenyum kepada orang sekitarnya lebih sering menghindar dan mengelak. Entah sejak kapan aku menemukan tulisannya dikoran dan blog pribadinya namun sejak saat itu aku tak pernah melewatkan sedikit pun tulisannya.

Setiap minggu pagi aku selalu bersemangat menuju warung pinggir jalan dekat gang rumahku. Jika tidak aku akan berjalan sedikit lebih jauh, dan memasuki gang beberapa komplek perumahan hanya untuk membeli koran. Aku selalu merasa dekat dan bisa bercakap-cakap dengannya. Lelaki itu adalah seorang kolumnis dikoran nasional dan bergengsi pula.

Bahkan aku juga merasa bercaka-cakap dengannya ketika membaca blog pribadinya. Lelaki bermata sipit yang selalu menghabiskan waktunya dengan buku. Meskipun jarang tampil dikeramaian sekolah ia adalah idola ratu sekolah. Sangat berbeda dengan lelaki umumnya.  

Kak Nadia namanya idola SMA Pertiwi. Bang Dimas yang populer saja, mati-matian mengejarnya tetapi gak pernah diterima oleh kak Nadia. “Apa kurangnya bang Dimas coba?”. Anak basket dan futsal sekolah, ketua osis yang kepopulerannya nomor satu disekolah dikenali guru, adik kelas dan disegani teman satu angkatannya. Perfect  banget deh.

Setiap duduk dikantin, saat sarapan lontong buk Imah dan tidak lupa bakwannya yang rasanya  number uno teman-teman satu angkatan selalu membicarakan bang Dimas seakan ia menjadi sosok yang sentral sekali disekolah. Tetapi kekurangan bang Dimas menurutku hanya satu tidak bisa menaklukan hati kak Nadia. Idola sekolahan, ratu sekolah yang kecantikannya bak cleopatra kata orang-orang. Bagiku biasa saja, tetapi badan kak Nadia memang oke sih. Tinggi semampai dan berat ideal. Good looking banget. Berbeda dengan aku, yang gendut berhidung pesek hidup lagi tapi kata orang-orang imut. Narsis sedikit hihi.

Sebagai perempuan yang hidupnya setengah-setengah. Setengah-setengah suka novel, novel autobiografi dan sastra bahkan menulis di blog yang pembacanya sedikit aku sering keperpustakaan. Meminjam tiga buku dalam seminggu kadang selesai kadang enggak bacanya. Lebih sering kena denda lagi karena telat balikin bukunya.

Aku sering melihat kak Nadia menemui bang Reza. Lelaki bermata sipit, sering menatap kosong dan sinis itu  bernama Reza. Seperti seorang mati rasa ia selalu mengelak saat kak Nadia menjumpainya yang menawarkan senyum terbaiknya  kepada lelaki itu.

Dalam hati aku berfikir jangan-jangan abang ini gak waras, gak ada selera humor. Meskipun begitu aku selalu merasa bercakap-cakap dengannya setiap kali tulisannya terbit dikoran dan postingan barunya diblog yang membahas berbagai buku, puisi dan terkadang personal lifenya. Setiap kali membaca tulisannya aku selalu berfikir dia orang yang baik, cerdas dan romantis. “What romantis?. Bukaaan”. Aku berbicara pada diri sendiri.

Pagi ini seperti biasa aku telat lagi kesekolah dan disuruh bersihin pekarangan sekolah baru boleh masuk kelas. Satu kelas menertawakanku ketika memasuki kelas, dan ketika hendak meletakkan tas kedalam laci meja dengan santainya aku berteriak saat suasana hening dan khitmat. Yang membuat buk Mira emosi karena lagi konsentrasi menerangkan dipapan tulis. Selama jam mata pelajaran matematika aku dihukum tegak didepan kelas. “Minggu kemaren, kamu lagi ya Salma buat masalah. Mau dikasih nilai merah kamu ?”. Ucap buk Mira dengan wajah garangnya.

Setelah jam matematika selesai Mutia memberiku air mineral sambil berkata “udah senyumin aja, aku ada ide nih buat balas dendam”. “Emang kamu tau siapa yang meletakkan mainan ular-ularan dilaci mejaku Mut?,” tanyaku padanya. “Taulah. Angga. Siapa lagi?,” jawab Mutia dengan percaya diri.

Lima menit kemudian Mutia pun membisikkan sesuatu ditelingaku. Aku pun mempraktekkan ide dari Mutia. Ketika jam istirahat sebelum keperpus aku pun meletakkan permen karet diatas kursi Angga. Alhasil saat ia berdiri tiba-tiba kesusahan bergerak dan celananya dipenuhi oleh permen karet yang membuat anak-anak satu kelas tertawa. “1-1 sama”, ucapku dalam hati.

Pagi ini hari minggu dengan sigap aku mengayuh sepeda menuju loper koran dan warung yang menjual koran. Kalau berjalan kaki aku takut kehabisan korannya. Dan setelah  membolak-balik halaman  koran hari ini aku tak melihat foto dan tulisan bang Reza. “Kenapa tulisannya gak terbit?” tanyaku pada diri sendiri. Juga diblog gak ada postingan baru.

Bak seorang kekasih yang tidak mendapat kabar dari pacarnya hari itu aku sangat lesu sekali. Mau ngapa-ngapain malas. Akhirnya pada siang harinya kuputuskan ketoko buku langganan dekat pasar.  Setelah pamit pada ibuk yang sibuk merajut dan bapak yang menghabiskan waktu liburnya membaca koran. Aku berangkat.

“Siang pak Saswi, ada buku puisi dari Aan Mansyur gak pak? yang dibacakan dalam film AADC2,”. “Wah kalau buku itu kelihatannya belum datang dek Putri, tapi kalau buku-buku traveliing lagi banyak nih,”. “Yaudah deh pak, kalau gitu buku-buku lama aja, buku buya Hamka, Chairul Anwar sama Marah Roesli ada gak pak ?”. “Ooo ada dek, coba dilihat dirak sebelah sana”.

Akupun berjalan mundur, hingga akhirnya langkah kakiku terhenti. Sepertinya punggungku telah menabrak rak buku pak Saswi. Dan ketika menoleh kebelakang ternyata bukun rak buku pak Saswi.  Pipiku memerah jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya. Seorang lelaki bermata sipit, yang aku umpat dan maki diam-diam didalam hati berdiri didepanku. Dan bodohnya ketika aku menatap wajahnya sekilas didalam hati aku mengakui bahwa lelaki ini ganteng juga. Dan sekarang  tersenyum kepadaku. “Maaf maaaf,” ucapku terbata-bata. “Iya gak apa-apa lain kali hati-hati ya,” jawabnya.  “Oh, iya nama saya  Reza”, ucapnya. Sambil melemparkan tangan kananya untuk berjabat tangan. Aku pun menyambut tangan tersebut dan berujar “Putri” balasku.

Hari itu lelaki bermata sipit, memiliki pandangan sinis dan yang sering kuumpat  mati rasa itu tersenyum kepadaku. Dan semua yang ada difikiranku tentangnya mulai berubah. Namun sejak perkenalan itu aku tidak pernah lagi melihat bang Reza disekolah. Bahkan hingga hari kelulusan anak kelas tiga aku tidak melihat nama kak Reza dipapan kelulusan.

Hingga akhirnya kuputuskan untuk melihat namanya sendiri dipapan pengumuman kelulusan. Seseorang mengangetkanku “Siapa nama panjangnya Put?”. “Ehmmm gak ada bang cuma liat-liat nama kakak tingkat saja aku masih kelas X”. “Oo gitu, kalau gitu permisi ya abang mau cari nama abang nih,”. “Ya Allah abang dia memanggil dengan sebutan abang” ucapku dalam hati sambil kegirangan dan berjalan menjauhinya.

Tiba-tiba Mutia menepuk bahuku. “Lo kenapa gitu kayak cacing kepanasan?”. Btw abang-abang yang tadi cakep juga,”. “Liat yang bening aja mata lo terang Mut, kantin yook” ucapku untuk mengalihkan isu.  Percakapan diantara aku dan bang Reza hanya dua kali dan sejak saat itu aku merasakan seperti ada perasaan aneh. Perasaan kagum, karena aku penyuka tulisannya sehingga aku jatuh hati. Sesuatu yang gak bisa dibiarkan. Jadi kenapa? perdebatan terjadi diotakku. Namun sejak saat itu aku tidak pernah lagi bertemu bang Reza. Hingga hari ini aku tidak lagi bersama Mutia, karena kita memilih kampus dan jurusan berbeda. Aku memilih Yogya dan Mutia memilih Bandung.

Namun saat aku celingukkan bak orang bingung melihat prosedur daftar ulang seorang lelaki berbicara denganku. ”Ada yang bisa dibantu?,”. “Bang Reza ?,” aku berkata sambil kegirangan. Namun saat itu bang Reza dengan seorang perempuan hitam manis, matanya  sipit, pipinya chubby pakai jilbab lagi. “Atau jangan-jangan udah nikah,” masih berbicara dengan diri sendiri. Sampai bang Reza kembali berbicara. “Kenalin sepupu abang Put,”. “Gak nyangka ya kita jumpa disini,”. “Hmm iya bang,”. Jawabku.

“Masih sering ketoko buku bapak Saswi?,”. “Kalau setahun ini jarang sih bang, lebih sering berkutat dengan buku-buku TPA dan SBMPTN,” jawabku datar. “Kuliah disini juga bang ?,” tanyaku. “Iya tapi sudah lulus dan kerja,”. “Wah berarti coumlaude dong bang, “ balasku. “Enggak kebetulan ngambil D3 biar bisa cepat kerja, kan laki-laki banyak tanggung jawab yang harus diemban,” jawabnya. “Bang aku duluan ya, udah dekat kostan ini,”. “Oh, iya ya Assalamualaikum,”.

Akupun berlari memasuki kamar kost. Di dalam kamar aku gak tau mau melakukan apa. Setelah tiga tahun berpisah kerena ketika duduk dikelas 1 bang Reza kelas 3. Dan sekarang dipertemukan dikota yang sama. Apakah perasaan ku masih tetap sama. Lalu bagaimana dengan Zaki. Lelaki yang dekat denganku sekarang. Jujur sebenarnya percakapan dengan bang Reza juga biasa-biasa saja. Aku yang terlalu bawa perasaan bisa jadi bang Reza biasa-bisa saja terhadapku. Ingatan ku muncul kembali membawa aku pada tiga tahun yang lalu ketika kak Nadia selalu berusaha mengejar-ngejar bang Reza namun bang Reza selalu buang muka. Apalagi aku yang biasa-biasa saja bukan tipe bang Reza.

Pagi itu aku ingin berangkat kekampus lebih cepat agar bisa keperpustakaan. Namun  seorang lelaki berdiri dipagar kostan. Bang Reza tersenyum kepada ku. “Mau membohongi perasaan lagi ya Put,”. “Maksudnya bang?.” jawabku seolah tak mengerti.

“Kamu kan yang memerhatikan saya diam-diam diperpustakaan SMA dahulu?,”. “Adik kelas yang sering mengintip saya lewat rak buku dan diam-diam mengikuti saya keluar perpustakaan,”. Aku masih mematung didepan kost dan belum sempat bicara bang Reza masih menyambung perkataannya. “ Sampai kapan mau membohongi perasaan Put, aku bukan laki-laki yang suka menggombal dan mengejar perempuan tapi saya berani membuat komitmen Put,”.

Aku berdiri mematung, kali ini aku yang menatap dengan tatapan kosong namun penuh harapan. Putri perempuan yang hidupnya setengah-setengah dalam menyukai sesuatu. “Ya Allah semalam aku mimpi apa, bagaimana mungkin bang Reza  mengetahui isi hatiku selama ini,” bicara didalam hati. ”Tapi bang ucapku sambil terbata-bata dan mengeluarkan handpone dari dalam tas. Lalu memberikan nomor handphone bapak sedangkan  mulut dan otakku seperti terkunci dan tidak bisa  berkata apa-apa lagi. 

No comments:

Post a Comment